![]() |
(Tolak Amir, aktivis lingkungan dan penegakan hukum) |
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumenep tahun 2023 (2023-2043) sudah di disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama dengan Bupati Kabupaten Sumenep pada hari Rabu (8/11), namun jauh sebelum itu Pemerintah Kabupaten Sumenep seyogyanya terlebih dulu mengkaji, menganalisis dan mempertimbangkan secara Akademis dan komprehensif dari segi unsur filosofis, sosiologis dan yuridis sebagai faktor fundamental dalam menetapkan suatu substansi aturan Perda RTRW yang ideal. Secara prinsip tujuan Perencanaan Tata Ruang ini adalah untuk mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan berwawasan lingkungan, efisien, bersinergi, serta dapat dijadikan acuan dalam program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Sehingga pembangunan dan keberlanjutan lingkungan hidup ke depan dapat berjalan secara simetris di kabupaten Sumenep.
Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) yang digagas pada Deklarasi Rio De Janeiro di Brazil Tahun 1992, dan melahirkan 27 prinsip yang menjadi unsur penting dalam konsep pembangunan berkelanjutan, diantaranya adalah prinsip keadilan antragenerasi dan intargenerasi,
Dalam aspek prinsip keadilan antargenerasi bahwa pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup oleh generasi sekarang tidak boleh mengorbankan kepentingan atau kebutuhan generasi masa depan atas sumber daya alam dan lingkungan hidup (The Right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental and environmental needs of present and future generations).
Dan dalam aspek prinsip keadilan intragenerasi, Pengeksploitasian dan Pemanfaatan Sumber daya alam (SDA) tidak boleh hanya dimonopoli oleh kelompok tertentu, tetapi sumber daya alam semestinya menjadi modal untuk meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan (Equality of social Justice).
Peraturan daerah (Perda) tentang RTRW Kabupaten Sumenep 2023 sangat mencerminkan konsep pembangunan konvensional yang hanya mementingkan aspek ekonomi tanpa memperhatikan aspek sosial dan ekologi, hal ini tampak terbukti dengan dihapusnya ketentuan Wilayah Rawan Bencana Alam dan Wilayah Lindung Geologi yang sebelumnya termuat dalam Pasal 32 Jo Pasal 33 Perda RTRW No 13 Tahun 2012 (2013-2033) Kabupaten Sumenep. Ironisnya, Panitia Khusus (Pansus) selaku panitia pembahasan RTRW tetap bersikukuh mencantumkan pasal tentang pertambangan, sehingga memberikan ruang gerak yang cukup ekspansif terhadap investor untuk melakukan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Kabupaten Sumenep secara masif. Dalam hal ini industri ekstraktif seperti "pertambangan" yang nantinya akan semakin masif dan konsekuensinya Kabupaten Sumenep akan mengalami krisis Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, Perlu kita ketahui bahwa krisis lingkungan berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan marak terjadi akibat pertambangan yang marak beroperasi secara ilegal di Kabupaten Sumenep Akhir-Akhir ini, seperti Bencana Banjir,Ambruknya 22 Rumah warga,Rusaknya akses jalan Kabupaten akibat dari Aktivitas pertambangan. hal tersebut menjadi bukti konkrit bahwa pemerintah harus melarang keras aktivitas tambang di kabupaten sumenep dengan alasan apapun, bahkan haram hukumnya sejengkal tanah di Kabupaten Sumenep dijadikan Titik Eksploitasi tambang oleh para investor.
Penulis : Tolak Amir
0 Komentar