Dalam mataku kau menjelma senja yang sore tadi gagal memejamkan mata
Yang bening seperti cahaya
Meski belum sempat mencuci muka
Yang menatap hening gelap mataku karena berisik bersuara.
Ketika rembulan mengambang tenang di atas kepalamu
Dalam ingatku kau menjelma pucuk dedaunan yang tertunduk seketika
Yang berhenti bertanya kepada angin yang mendesau marah entah mengapa.
Dalam doaku, malam ini kau menjelma pekat yang harus perlahan tenggelam dalam gelimang cahaya, menutup celah-celah hatimu yang ragu akan percaya dan menyentuh pipiku sebagai penangkal kecewa.
Dalam diriku, kau menjelma denyut nadiku yang dengan riang bertahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya.
Yang setia menyusut rahasia hati
Yang terpikir tak mampu diucap kata
Yang tak putus-putusnya bergurau dengan tangis supaya aku berhenti meringis.
Aku mencintaimu, Ibu.
Itu sebabnya aku tak pernah selesai merindu, berkata tentang rahasia kecil hati yang gagu.
Agar kau tak selalu bisu akan waktu yang masih kau anggap dulu, yang masih kau pikir ragu untuk berlalu.
(Madura, 21-12-2021 - puisi dari Indriyana, mahasisawa semester 5 program studi akuntansi).
0 Komentar