![]() |
Aini A'R Mahasiswa Pertanian Aktif di LPM Maharaja Univ Wiraraja |
Tinggal menunggu detik
berganti menjadi menit, menit berganti menjadi jam, dan malam akan berlalu,
esok kita akan menginjak pada tanggal 21 April, yang katanya diperingati
sebagai Tonggak Kebangkitan Perempuan
Indonesia Pada Kesadaran Akan Kesamaan Hak Dan Kesetaraan Gender Dengan Kaum
Laki – Laki. Tanggal peringatan itu sesuai dengan hari lahir dari seorang
pahlawan perempuan yakni Raden Ajeng Kartini, seorang perempuan berdarah
Jepara. Hari Kartini juga dikenal sebagai ikon Emansipasi Wanita di Indonesia.
Sejujurnya penulis dilema akan hal ini, kenapa setiap Hari
Kartini baik di Sekolah – Sekolah, Kampus maupun di Instansi Pemerintahan
dirayakan dengan mengenakan Kebaya, Batik
atau Pakaian Adat Nasional ?
bukannya penulis benci mengenakan Kebaya
dan semacamnya, penulis sangat bangga sekaligus menghargai budaya Indonesia,
akan tetapi menurut penulis esensi dari Hari Kartini itu sendiri akan hilang
apabila hanya dipersempit dengan “hari
dimana seluruh Siswa, Mahasiswa, Pegawai serta Karyawan mengenakan batik dan
semacamnya ” dan juga menurut penulis tidak ada hubungannya antara Emansipasi Wanita dengan pakaian seperti
itu. Apa karena R.A. Kartini terlihat selalu mengenakan Kebaya ? rasanya terlalu memaksakan jika perayaan tersebut
dirayakan dengan berkebaya semua, kita ketahui bersama bahwasanya pakaian
kebaya itu sendiri hanya ada didaerah Jawa. Agar terlihat menasionalkan dan
tidak terkesan Hari Kartini hanya untuk Emansipasi
Wanita Jawa saja, maka terciptalah perayaan hari kartini dengan menggunakan
Pakaian Daerah (non kebaya). Tidak hanya itu, untuk merayakan Hari Kartini ada
wanita yang sampai rela merayakan Hari Kartini dengan merombak total wajahnya
dengan makeup sehingga terlihat mirip dengan sosok R.A. Kartini dan dengan
bangganya si wanita tersebut membagikan tutorial makeupnya di medsos. Sangat
menggelikan bukan, bahwa bangsa kita lebih menikmati Kemasan daripada esensinya, bahkan pada Kemasan tanpa Esensi
sekalipun.
Lantas
apakah Pahlawan Emansipasi di
Indonesia hanya R.A. Kartini ? dan apakah bangsa ini tidak mempunyai tokoh
wanita yang memiliki andil lebih besar dalam perjuangan dibandingkan dengan R.A.
Kartini ?
Prof.
Dr. Harsja W. Bachtiar, di artikel “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat
Kita” dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), mengatakan bahwa kita mengambil
alih R.A.
Kartini sebagai lambang Emansipasi Wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita
tidak menciptakan sendiri lambang budaya tersebut, meskipun kemudian kitalah
yang mengembangkannya lebih lanjut.
Ide
emansipasi Kartini hanyalah hasutan teman-teman diskusinya. Diantaranya adalah
Rosa Abendanon yang merupakan istri dari JH Abendanon, seorang menteri
kebudayaan, agama, dan kerajinan pada masa kolonial. Naskah asli surat-surat R.A.
Kartini tidak jelas statusnya dan juga tidak jelas keberadaannya. Buku Kartini
terbit pada saat pemerintah kolonial sedang mengkampanyekan politik etis di
Hindia Belanda.
Jika menurut kalian “Pahlawan Wanita” yang berjuang dalam
meningkatkan derajat kaum wanita hanya R.A. Kartini, maka kalian SALAH !!!
Berbeda
dengan R.A. Kartini yang mendirikan sekolah hanya untuk kaum priyayi dan bangsawan. Dewi Sartika, wanita kelahiran Bandung, 4 Desember 1884
merupakan tokoh perintis pendikan untuk perempuan yang kian terlupakan oleh
generasi bangsa ini. Dewi Sartika diakui sebagai pahlawan nasional 2 tahun
setelah R.A. Kartini diakui, yakni pada 1966. Sejak berumur 10 tahun Dewi Sartika sudah menyebarkan ilmu baca tulis dan
bahasa Belanda kepada perempuan - perempuan dari rakyat jelata, kebanyakan
dari anak-anak pembantu di Kepatihan. Tak heran jika perbuatan Dewi Sartika
membuat kehebohan tersendiri, karena pada masa itu tidak mungkin anak rakyat
jelata bisa baca tulis, apalagi belajar bahasa Belanda.
Sekolah
Kartini adalah sekolah khusus priyayi atau Bangsawan. Hal tersebut merupakan
hal yang sangat lazim bagi keluarga bangsawan apabila mereka bisa baca tulis,
mengingat mereka memang diizinkan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, meski
tidak sampai jenjang tinggi.
Sakola
Istri (Sekolah Perempuan) merupakan sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika yang
kemudian berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan
Perempuan). Seiring berjalannya waktu, sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika
menginspirasi para perempuan - perempuan Sunda untuk mendirikan sekolah - sekolah
serupa. Sehingga pada tahun 1920 tiap kabupaten di Pasundan memiliki sekolah
perempuan, bahkan Sakola Kautamaan Istri menyebar hingga Bukittinggi yang
didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Nama
Dewi Sartika dan jasa-jasanya kepada perempuan, rakyat biasa, dan juga bangsa
ini telah di kerdilkan oleh rekayasa kolonial. Pemerintah kolonial lebih memilih
“menerbitkan” R.A. Kartini daripada Dewi Sartika. Hal ini tidak cukup
mengagetkan kembali, mengingat bahwa ayah Dewi Sartika, yakni Raden Rangga
Somanegara adalah orang yang anti terhadap pemerintah kolonial Belanda. Raden
Rangga Somanegara sendiri diasingkan ke Ternate hingga meninggal disana,
diasingkannya ayah Dewi Sartika tersebut karena terlibat dalam kasus politik
yang dikenal sebagai “Peristiwa Dinamit Bandung”.
Jika R.A. Kartini berasal dari keluarga bangsawan yang berkolaborasi dengan para
kolonial, berbanding terbalik dengan Dewi Sartika yang memang lahir dari
keluarga pejuang dan berjuang untuk melawan para kolonial melalui pencerdasan
kaum perempuan. Jika
R.A. Kartini hanya beretorika Emansipasi
Wanita melalui surat-suratnya, Dewi Sartika tidak. Dewi Sartika konsisten
menolak dijadikan istri muda atau selir dan praktik langsung menjadi guru di
sekolah-sekolahnya.
R.A. Kartini terkenal melalui tulisan
– tulisannya yang menyebar hingga ke Eropa karena mediasi dari tokoh - tokoh Emansipasi Belanda. Inilah perbedaan
antara R.A. Kartini dengan Dewi Sartika. Tulisan Kartini bisa dibaca oleh
generasi setelahnya. Hasil kerja langsung Dewi Sartika juga bisa dinikmati
generasi berikutnya. Akan tetapi ide Dewi Sartika tidak tertulis sehingga tidak
terdokumentasi oleh sejarah, terlebih perlakuan diskriminatif pemerintah
kolonial pada waktu itu.
Berarti
karena Dewi Sartika tidak menulis maka ia kalah tenar dibandingkan dengan R.A.
Kartini ?
Penulis
rasa tidak, karena ada seorang wanita yang menjadi wartawati pertama Indonesia,
dimana dalam hal ini tulisan - tulisannya memberikan semangat pada kaum perempuan
bangsa untuk berfikir maju dan berkiprah sama dengan kaum laki-laki. Dia adalah
Roehanna Koeddoes (1884-1972). Roehanna
menyebarkan ide - ide pemikirannya melalui koran - koran ciptaannya sendiri yang
dipimpinnya. Mulai dari Sunting Melayu (Koto Gadang), Wanita Bergerak (Padang),
Radio (Padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan), bahkan Roehanna Koeddoes dianggap sebagai jurnalis perempuan pertama
Indonesia. Komitmennya pada dunia pendidikan kaum perempuan pun diwujudkan
dengan mendirikan sekolah “Keradjinan Amai Setia” pada
tahun 1911, dalam sekolah tersebut juga diajarkan agar para wanita bisa
baca-tulis, menjahit, menyulam. Selain itu diajarkan pengetahuan umum dan
pengetahuan agama.
Sama-sama
berjuang melalui “Pena” dengan tulisan - tulisan dan pemikirannya. Roehanna
Koeddoes muncul dengan mewujudkan ide - idenya dengan tindakan nyata.
Jasa Roehanna amatlah besar, tak kalah dengan jasa R.A. Kartini maupun Dewi
Sartika. Tapi mengapa hanya R.A. Kartini yang terkenal ?
Lagi – lagi terjadi diskriminasi dalam manuskrip sejarah bangsa ini. Roehanna
Koeddoes dan Dewi Sartika
bukan berasal dari Jawa dan tidak berhubungan baik dengan pemerintah kolonial.
Bisakah penulis mengatakan bahwasanya
hal ini merupakan MANIPULASI SEJARAH
dan Hari Kartini hanyalah
sebuah PEMBOHONGAN, terlebih menjadi PEMBODOHAN kepada generasi muda
bangsa ini yang dibutakan wawasannya sehingga berfikir betapa luar biasanya
jasa R.A. Kartini dibanding dengan para pahlawan wanita yang lain.
Selain itu ada dua pahlawan wanita
yang dapat dijadikan pembanding. Pertama, Sultanah
Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Datu (Ratu) Siti Aisyah We Tenriolle dari
Sulawesi Selatan.
Anehnya,
dua wanita pahlawan tersebut tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad
Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi
Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja dalam hal ini R.A. Kartini masuk
dalam buku tersebut. Padahal dua wanita itu tidak dperlu diragukan lagi
kehebatannya.
Sultanah Safiatuddin dikenal sebagai
sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain
bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan
Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang
pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nurudddin ar-Raniry,
Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha
Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh
monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah
Aceh cukup lama, yaitu tahun 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan
pendidikan, baik untuk pria maupun wanita.
Yang kedua adalah Siti Aisyah We
Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi
juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli
sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos
La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos
besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle pada tahun 1908, wanita ini
mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang
dibuka baik untuk anak-anak pria maupun wanita.
R.A.
Kartini mungkin berjasa. Tapi jangan sampai pengkultusan padanya justru
menghilangkan jasa wanita pahlawan lain yang menurut penulis jauh lebih
berjasa.
Sekali lagi ini sekedar wacana
bukan pembentukan opini, real sejarah harus ditegakkan, diluruskan dan
dibenarkan, siapapun yang berjuang dengan hati, jiwa dan raga adalah pahlawan
untuk negeri ini. Pepatah usang juga mengatakan bahwasanya “Bangsa Yang Besar
Adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya”
“Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki.
Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus
berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik.
Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur,
taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu.”
Untuk mengenang jasa para
pahlawan yang telah gugur mendahului kita, khususnya para pahlawan yang
berjuang untuk meningkatkan derajat kaum wanita, untuk semangat dan untuk roh
perjuangan mereka yang bisa kita nikmati hingga saat ini, untuk udara kebebasan
yang kita rasakan, marilah kita sejenak mengheningkan cipta.
Mengheningkan cipta. Dimulai !